Langsung ke konten utama

MAKALAH GHORIBUL QURAN


            Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Saw dan kaumnya, merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
            Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah seperti yang dipelajari dalam ilmu Gharibul-Quran.
Banyak lafadz dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman  
Berikut ini kita akan membahas mengenai 4 lafal yang dinilai gharib oleh para sahabat, yakni pada surat ‘Abasa ayat 31, surat Fathir ayat 1, surat Maryam ayat 13, dan surat al-A’raf ayat 89. Namun sebelum beranjak ke inti pembahasan makalah, penulis memaparkan terlebih dahulu sedikit mengenai gambaran apa itu Gharibul Quran dan pembagiannya, guna memudahkan pemahaman pembaca nantinya.



       I.            PENDAHULUAN
            Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Saw dan kaumnya, merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
            Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah seperti yang dipelajari dalam ilmu Gharibul-Quran.
Banyak lafadz dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman  
Berikut ini kita akan membahas mengenai 4 lafal yang dinilai gharib oleh para sahabat, yakni pada surat ‘Abasa ayat 31, surat Fathir ayat 1, surat Maryam ayat 13, dan surat al-A’raf ayat 89. Namun sebelum beranjak ke inti pembahasan makalah, penulis memaparkan terlebih dahulu sedikit mengenai gambaran apa itu Gharibul Quran dan pembagiannya, guna memudahkan pemahaman pembaca nantinya.



    II.            PEMBAHASAN
            Gharaib adalah jamak dari kata gharib. Gharib secara lughawi bermakna jauh, samar, trsembunyi, atau sesuatu yang bukan dari suatu kaum, adapun gharib dalam pembicaraan ialah “tersembunyi” atau “tidak terang arti perkataannya”.[1] Sedangkan menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan al qur’an maka yang dimaksud dengan Gharaib al-Qur’an adalah ayat-ayat al qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir hampir tidak dapat dimengerti maknanya, seperti lafadz أَبَّا  dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa (وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا).[2]
            Kata gharib dapat kita temukan dalam hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah ra. secara marfu’[3]
اَعْرِبُوا القُرْآنَ والْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ
“I’rabilah al-Quran dan cermatilah kata-kata asingnya (gharaib) olehmu.”
   Imam as-Suyuthi berkata, “Bagi orang yang mendalami ilmu ini hendaknya kembali pada kitab-kitab para ahli sastra bahasa Arab. Adapun para sahabat meskipun tidak mendalami bidang ini namun mereka adalah orang Arab asli yang fashih dalam berbahasa Arab dan kepada merekalah Al-Quran diturunkan. Mereka mencukupkan dengan bahasa mereka ketika ada kata yang mereka anggap asing dan tidak berkomentar sedikitpun tentang itu.”[4] Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas, sesungguhnya Umar bin Khottob RA. membaca ayat وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا diatas mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui, sedang  apa yang dimaksud dengan al abba?”[5] lalu beliau berfikir, kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab yang ahli dalam bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih serta al qur’an diturunkan kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.
            Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Umar ra. di atas adalah shahih, bahwasanya Umar ra. ingin mengetahui makna abba, baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir abba adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat sebelumnya (QS. 80 : 27-31). Berikut teks arab yang penulis temukan dari penjelasan Ibnu Katsir:
فهو إسناد صحيح، وقد رواه غير واحد عن أنس، به. وهذا محمول على أنه أراد أن يعرف شكله وجنسه وعينه، وإلا فهو وكل من قرأ هذه الآية يعلم أنه من نبات الأرض، لقوله: (فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا * وَعِنَبًا وَقَضْبًا * وَزَيْتُونًا وَنَخْلا * وَحَدَائِقَ غُلْبًا * وَفَاكِهَةً وَأَبًّا )[6]
Dari peristiwa di atas dapat diketahui bahwa gharaib al qur’an bukanlah hal yang baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami secara langsung, bahkan ulama’ tedahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat yang sulit dipahami. Mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak berpendapat sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya shahabat Abu Bakar RA. saat ditanya tentang firman Allah yang berbunyi وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا , beliau berkata “ di langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku tinggal, jika aku berkata sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak mengetahuinya”.[7]
A.    Pembagian Ghorib dalam Alquran
            Pembahasan ini berdasarkan analisis penulis dalam memahami ke-gharib-an lafal yang terdapat dalam Alquran. Menurut penulis ada dua macam ke-gharib-an lafal yang dijumpai para sahabat di dalam Alquran, yakni:




1.      Gharib lafal pada lafal dan maknanya
Maksudnya lafal yang memang jarang atau tidak pernah didengar oleh para sahabat dikarenakan tidak biasa digunakan dalam percakapan orang Arab di masa mereka. Sehingga karenanya para sahabat merasa kesulitan dalam memahami makna lafal yang gharib tersebut.

2.      Gharib lafal pada penempatan artinya di dalam kalimat
Bisa saja lafalnya sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, akan tetapi pada konteks kalimat tertentu makna yang dikandung lafal menjadi tidak sesuai apabila diartikan dengan makna yang biasa dipahami. Seperti pada lafal faathirdaniftah yang akan dibahas nantinya. Wallahu a’lam.

B. LAFADZ-LAFADZ GHORIB DALAM AL-QURAN
1.      Lafal  حنانا  di dalam surat Maryam ayat 13
            Lafal ini asing dalam pembicaraan orang-orang Arab, Ibnu Abbas ra. tidak mengetahui apa maksud dari kata tersebut. Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair, sesungguhnya ia ditanya tentang firman Allah: wa hanaanan min ladunna maka ia menjawab, “Aku telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, namun ia tidak menjawab apapun.”
            Dikeluarkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa itu hanaanan.”
            Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra’il dari Simak bin Harbi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku mengetahui semua yang ada dalam Al-Quran kecuali empat hal: ghislin, wa hanaanan, awwah, dan arraqiim.”[8]
            Ke-gharib-an lafal ini terletak pada asingnya penggunaan kata tersebut dalam pembicaraan orang Arab sehari-hari. Adapun penafsiran para mufassir dalam mengartikan lafal hananana adalah sebagai berikut:
            Dalam Tafsir ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas demikian pula pendapat Ikrimah, Qotadah dan Ad-Dahak, ia mengatakan, wa hanaanan min ladunna yakni rahmat dari sisi Kami. Dia (Ad-Dahak menambahkan tidak ada yang sanggup selain Allah[9]
            Dalam sebuah riwayat yang panjang, Nafi’ bin Azraq menanyakan kepada Ibnu Abbas perihal lafal hananan tersebut apakah dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya? Beliau menjawab, “Ya. Tidakkah kamu mendengar Tharfah bin Abd berkata:[10]
ابا مُنْذِرٍ اَفْنَيْتَ فَاسْتَبْقِ بَعْضَنَا           حَنَانَيْكَ بَعْضُ الشَّرِّ اَهْوَنُ مِنْ بَعْض
Hai Abu Mundzir, kamu telah menghabiskan! Sisakan sebagian untuk kami
Dua kasih sayangmu, sebagian kejahatan lebih ringan daripada yang lain
            Selain pengertian di atas, para mufassir juga menafsirkan kata tersebut dengan makna lain, namun semuanya masih saling berdekatan.
            Mujahid mengatakan maknanya adalah tha’attufan min rabbihi‘alaihi (perlakuan lemah lembut dari Tuhannya).[11]Ibnu Zaid berkata maknanya adalah mahabbah‘alaihi (rasa cinta terhadapnya). Atha’ bin Abi Rabah mengatakan maknanya adalah ta’zhiman min ladunna(kemuliaan dari sisi kami).
2.      Lafal افتح  di dalam Surat Al-A’raf ayat 89

            Sebagaimana pada ayat-ayat sebelumnya penulis cantumkan, pada ayat ini para sahabat pun merasa kesulitan dalam memaknai suatu lafal yang gharib.
            Ibnu Abbas mengatakan, “Saya sendiri tidak mengerti apa maksud dari firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَاافْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَابِالْحَقِّ
Sehingga saya mendengar anak perempuan Dzul Yaqin berkata kepada suaminya:
تَعَالَىاُفَـاتِحْكَ
kemarilah, aku beri kamu keputusan, dan berkata seorang wanita badui:
بَيْنِى وَ بَيْنَـكَ الفَتَاحُ
telah ada keputusan antara aku dan kamu.[12]
            Jadi فتح  dalam ayat tersebut bermakna memberikan keputusan, Al-Maraghi menyebutkan bahwa pengertian seperti ini bersifat abstrak, hanya bisa diketahui dengan jalan berpikir. Fataha dalam pengertian demikian juga dapat ditemukan dalam percakapan orang arab serta syair-syair seperti:
وَفَتَحَ الحَاكِمُ بَيْنَهُـمْ وَمَا اَحْسَنَ فَتَاحَتُهُ
“Hakim memutusi di antara mereka dan sungguh baik sekali putusannya itu.”

اَلاَ ابَلِّغُ بَنِى وَهَبٍ رَسُولاً   ͏
                             بِاَيِّ عَنْ فَتَاحَتِهِمْ غَنِيٌّ  ͏
“Ketahuilah, telah aku kirim kepada Bani Wahab seorang duta untuk menyatakan, bahwa aku tak perlu putusan mereka.”
            Ke-gharib-an iftah dalam ayat ini terletak pada jarangnya penggunaan makna yang dikandung. Kata iftah biasanya dipakai dalam arti kata membuka atau menaklukkan. Menggunakan lafal ini dalam makna memutuskan (قضى) jarang dipakai oleh orang Arab.
3.      Lafal ابّا  dalam Surat ‘Abasa ayat 31
            Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra. ditanyai tentang makna kata ini, lalu beliau menjawab: “Langit mana tempat aku berlindung, bumi mana tempat aku berpijak, kalau aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak kuketahui.” Ucapan serupa dikemukakan oleh Umar bin al-Khattab ketika beliau membaca ayat-ayat di atas. Beliau berkata: “Semua ini telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu?” Lalu, beliau mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata: “Inilah yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, wahai putra Ibu Umar, jika tidak mengetahui apakah abban itu.” Lalu beliau menghadap kepada siapa yang di sekelilingnya seraya berkata, “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah,dan apa yang kamu tidak ketahui, serahkanlah kepada Tuhan.”[13]
            Bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar ra. dan sekian banyak sahabat lain tidak mengetahuinya boleh jadi karena kata tersebut ada dalam perbendaharaan bahasa Arab dan pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi tidak populer lagi.[14] Gharib-nya ayat ini terletak pada lafalnya yang jarang atau tidak pernah didengar oleh orang-orang Arab, khususnya para sahabat yang mencoba memahami makna ayat.
            Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Umar ra. di atas adalah shahih, bahwasanya Umar ra. ingin mengetahui makna abba, baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir abba adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat sebelumnya (QS. 80 : 27-31). Berikut teks arab yang penulis temukan dari penjelasan Ibnu Katsir:
فهو إسناد صحيح، وقد رواه غير واحد عن أنس، به. وهذا محمول على أنه أراد أن يعرف شكله وجنسه وعينه، وإلا فهو وكل من قرأ هذه الآية يعلم أنه من نبات الأرض، لقوله: (فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا * وَعِنَبًا وَقَضْبًا * وَزَيْتُونًا وَنَخْلا * وَحَدَائِقَ غُلْبًا * وَفَاكِهَةً وَأَبًّا )[15]
            Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas berkata, “Adapun al-abb adalah dedaunan yang dimakan oleh binatang ternak, bukan oleh manusia.” Di riwayat lain disebutkan, “Yakni rerumputan untuk binatang ternak.”[16]
4.      Lafal فاطر  dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al-An’am ayat 14
            Ibnu Abbas ra. berkata, ”Dahulu saya tidak mengerti makna, faathiru al-samaawaati wa al-ardh, Hingga dua orang badui menemui saya, dan keduanya berselisih perihal sebuah sumur. Salah seorang berkata kepada temannya; Ana fathartuha, yakni,”Ana abtada’tuha hafraha (Aku yang memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas ra. juga berkata faathiru al-samaawaati wa al-ardhartinya badii’ual-samaawaati wa al-ardh (Pencipta pertama langit dan bumi), atau dalam riwayat lain disebutkan khaliqu al-samawati wa al-ardhi (Pencipta langit dan bumi dari suatu ketiaadaan).[17] Di dalam tafsir Al-Maraghi lafal faathir berasal dari faathara asy-syaian yakni mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.[18]
            Ke-gharib-an lafal ini terletak pada maknanya, dalam pembicaraan sehari-harifathara diartikandengan makna membelah,seperti pada ayat “idzaa al-samawaat infatharat”.Namun pada ayat ini kata fathara mengandung arti menciptakan.


 III.            KESIMPULAN
                        Gharibal-Quran ialah “lafal di dalam Al-Quran yang dianggap asing atau sulit dipahami oleh bangsa Arab, khususnya para sahabat yang kepada mereka diturunkan al-Quran.”Gharib terbagi kepada dua, yaitu: Gharib lafal pada lafal dan maknanya dan Gharib lafal pada penempatan artinya di dalam kalimat. Makna 4 lafal yang dianggap gharib:
1. Lafal abba diartikan dengan makna rerumputan bagi binatang ternak
2. Lafal fathir diartikan dengan makna menciptakan
3. Lafal hananan diartikan sebagai kasih sayang atau rahmat
4. Lafal iftah diartikan sebagai memutuskan (qadha).
Ke-gharib-an lafal dalam al-Quran bisa saja terjadi pada para sahabat ataupun pada orang Arab lainnya, dikarenakan kosakata bahasa Arab itu sangat luas/banyak, sehingga tidak semua orang mampu memahami semua kosakata tersebut.















DAFTAR PUSTAKA
Ma’luf Louis dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut: Maktabah Syarqiyyah, 1986).
Baidan Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
As-Suyuthi Jalaluddin , Al-Itqan fi Ulumil Quran. (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1971).
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. 2009
Arwani M. Ulin Nuha, dkk, YANBU’A jilid 6  (Kudus: BUYA BAROKAH, 2010, cetakan ketiga).
al-Ashfahany Ar-Raghib , al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.).


[1] Louis Ma’luf dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut: Maktabah Syarqiyyah, 1986), hal 547
[2] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). 267.
[3] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran. (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1971), 172
[4] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran Jilid I terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008),hal. 448
[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran. (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1971), 172

[6] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir.
[7] Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja’iz dengan judul Samudra Ulumul Qur’an {Al-Itqan fi Ulumil Qur’an} (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2006), h. 2
[8] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumial-Quran Jilid I terj..., hal. 448
[9] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011). 620
[10] Jalauddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumial-Quran...l. 184, lihat ibnu katsir terj
[11] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5..., hal. 620
[12] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 9 terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hal. 14
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jilid 15,  (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 87
[14] ibid
[15] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Software mawsowaat_quran.
[16] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), 473
[17] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, (Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), 456
[18] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 22 terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992). 177

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ADA’ WA TAHAMMUL HADITS

I.                    PENDAHULUAN Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits. [1] Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya   sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan. Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memili...

PEMAHAMAN HADIS TENTANG RU’YATUL HILAL DALAM PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN DAN HARI RAYA IDUL FITRI DALAM KONTEKS SAINS

A.     Latar Belakang Persoalan ibadah Islam harus ditentukan melalui dalil yang pasti yaitu al-Qur’an dan hadis. Mengacu kepada kaidah usuliyah yang menyebutkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang mewajibkannya, maka sangat perlu sekali dalam melaksanakan ibadah didukung oleh dalil yang pasti. [1] Salah satu ibadah yang terkait dengan perintah Allah swt. dan Nabi saw adalah masalah ibadah puasa. Di dalam ibadah ini terdapat banyak menimbulkan berbagai perbedaan di antara umat Islam terutama dalam menentukan kapan diwajibkannya puasa dan kapan berakhirnya puasa. Hal tersebut terkait erat dengan penentuan awal dan akhir suatu bulan. Jika berpedoman pada QS. Al-Baqarah ayat 158 dijelaskan bahwa puasa itu diwajibkan kepada siapa saja yang merasakan (menemukan) bulan Ramadhan dan puasa itu adalah hari-hari tertentu. Ayat tersebut tidak menjelaskan kapan puasa Ramadhan dimulai. Informasi pelaksanaannya ditemukan dalam hadis nabi yang redaks...