Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi
Muhammad Saw dan kaumnya, merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya,
mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk
kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang
sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah
seperti yang dipelajari dalam ilmu Gharibul-Quran.
Banyak lafadz
dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa
bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang
umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini
menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat
tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu
menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah
karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman
Berikut ini kita akan
membahas mengenai 4 lafal yang dinilai gharib oleh para sahabat, yakni pada
surat ‘Abasa ayat 31, surat Fathir ayat 1, surat Maryam ayat 13, dan surat
al-A’raf ayat 89. Namun sebelum beranjak ke
inti pembahasan makalah, penulis memaparkan terlebih dahulu sedikit mengenai gambaran
apa itu Gharibul Quran dan pembagiannya, guna memudahkan pemahaman pembaca
nantinya.
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi
Muhammad Saw dan kaumnya, merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya,
mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk
kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang
sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah
seperti yang dipelajari dalam ilmu Gharibul-Quran.
Banyak lafadz
dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa
bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang
umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini
menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung kemukjizatan yang sangat
tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu
menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah
karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman
Berikut ini kita akan
membahas mengenai 4 lafal yang dinilai gharib oleh para sahabat, yakni pada
surat ‘Abasa ayat 31, surat Fathir ayat 1, surat Maryam ayat 13, dan surat
al-A’raf ayat 89. Namun sebelum beranjak ke
inti pembahasan makalah, penulis memaparkan terlebih dahulu sedikit mengenai gambaran
apa itu Gharibul Quran dan pembagiannya, guna memudahkan pemahaman pembaca
nantinya.
II.
PEMBAHASAN
Gharaib adalah
jamak dari kata gharib. Gharib secara lughawi bermakna jauh,
samar, trsembunyi, atau sesuatu yang bukan dari suatu kaum, adapun gharib
dalam pembicaraan ialah “tersembunyi” atau “tidak terang arti perkataannya”.[1]
Sedangkan
menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu
penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya
permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan al qur’an maka yang dimaksud dengan Gharaib
al-Qur’an adalah ayat-ayat al qur’an yang sukar pemahamannya sehingga
hampir hampir tidak dapat dimengerti maknanya, seperti lafadz أَبَّا dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa
(وَفَاكِهَةً
وَّ أَبَّا).[2]
Kata gharib dapat kita temukan dalam hadits Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah ra. secara marfu’[3]
اَعْرِبُوا القُرْآنَ والْتَمِسُوا
غَرَائِبَهُ
“I’rabilah al-Quran dan
cermatilah kata-kata asingnya (gharaib) olehmu.”
Imam as-Suyuthi berkata, “Bagi orang yang mendalami ilmu ini hendaknya kembali
pada kitab-kitab para ahli sastra bahasa Arab. Adapun para sahabat meskipun
tidak mendalami bidang ini namun mereka adalah orang Arab asli yang fashih dalam berbahasa Arab dan kepada merekalah Al-Quran
diturunkan. Mereka mencukupkan dengan bahasa mereka ketika ada kata yang mereka
anggap asing dan tidak berkomentar sedikitpun tentang itu.”[4] Hal ini
bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW. sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Anas, sesungguhnya Umar bin Khottob RA. membaca ayat وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا diatas
mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui,
sedang apa yang dimaksud dengan al abba?”[5]
lalu beliau berfikir, kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan
ada yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak
mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab
yang ahli dalam bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih
serta al qur’an diturunkan kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.
Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Umar ra.
di atas adalah shahih, bahwasanya Umar ra. ingin mengetahui makna abba,
baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir abba
adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat
sebelumnya (QS. 80 : 27-31). Berikut teks arab yang penulis temukan dari
penjelasan Ibnu Katsir:
فهو إسناد صحيح، وقد رواه غير واحد عن
أنس، به. وهذا محمول على أنه أراد أن يعرف شكله وجنسه وعينه، وإلا فهو وكل من قرأ
هذه الآية يعلم أنه من نبات الأرض، لقوله: (فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا *
وَعِنَبًا وَقَضْبًا * وَزَيْتُونًا وَنَخْلا * وَحَدَائِقَ غُلْبًا * وَفَاكِهَةً
وَأَبًّا )[6]
Dari peristiwa di atas dapat
diketahui bahwa gharaib al qur’an bukanlah hal yang baru, dan memang
suatu hal yang sangat sulit dipahami secara langsung, bahkan ulama’ tedahulu
tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat yang sulit dipahami. Mereka lebih
memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak berpendapat sedikitpun, karena
keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya shahabat Abu Bakar RA. saat ditanya
tentang firman Allah yang berbunyi وَفَاكِهَةً وَّ أَبَّا ,
beliau berkata “ di langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku tinggal, jika
aku berkata sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak mengetahuinya”.[7]
A.
Pembagian Ghorib
dalam Alquran
Pembahasan ini berdasarkan analisis penulis dalam
memahami ke-gharib-an lafal yang terdapat dalam Alquran. Menurut penulis ada
dua macam ke-gharib-an lafal yang dijumpai para sahabat di dalam Alquran, yakni:
1. Gharib lafal pada lafal dan
maknanya
Maksudnya lafal yang
memang jarang atau tidak pernah didengar oleh para sahabat dikarenakan tidak
biasa digunakan dalam percakapan orang Arab di masa mereka. Sehingga karenanya para sahabat merasa kesulitan dalam
memahami makna lafal yang gharib tersebut.
2. Gharib lafal pada penempatan
artinya di dalam kalimat
Bisa saja lafalnya sering
digunakan dalam percakapan sehari-hari, akan tetapi pada konteks kalimat
tertentu makna yang dikandung lafal menjadi tidak sesuai apabila diartikan
dengan makna yang biasa dipahami. Seperti pada lafal faathirdaniftah yang akan dibahas nantinya. Wallahu a’lam.
B. LAFADZ-LAFADZ GHORIB DALAM AL-QURAN
1. Lafal حنانا di dalam surat Maryam ayat 13
Lafal ini asing dalam pembicaraan orang-orang Arab, Ibnu
Abbas ra. tidak mengetahui apa maksud dari kata tersebut. Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair, sesungguhnya ia ditanya
tentang firman Allah: wa hanaanan min ladunna maka ia menjawab, “Aku
telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, namun ia tidak menjawab apapun.”
Dikeluarkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia
berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa itu hanaanan.”
Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra’il dari Simak bin
Harbi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku mengetahui semua yang ada
dalam Al-Quran kecuali empat hal: ghislin, wa hanaanan, awwah, dan arraqiim.”[8]
Ke-gharib-an lafal ini terletak pada asingnya penggunaan kata
tersebut dalam pembicaraan orang Arab sehari-hari. Adapun penafsiran para mufassir dalam
mengartikan lafal hananana adalah sebagai berikut:
Dalam Tafsir ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh
Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas
demikian pula pendapat Ikrimah, Qotadah dan Ad-Dahak, ia mengatakan, wa
hanaanan min ladunna yakni rahmat dari sisi Kami. Dia
(Ad-Dahak menambahkan tidak ada yang sanggup selain Allah”[9]
Dalam sebuah riwayat yang panjang, Nafi’ bin Azraq
menanyakan kepada Ibnu Abbas perihal lafal hananan tersebut apakah
dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya? Beliau menjawab, “Ya. Tidakkah kamu
mendengar Tharfah bin Abd berkata:[10]
ابا مُنْذِرٍ اَفْنَيْتَ فَاسْتَبْقِ بَعْضَنَا حَنَانَيْكَ بَعْضُ الشَّرِّ اَهْوَنُ
مِنْ بَعْض
Hai Abu Mundzir, kamu
telah menghabiskan! Sisakan sebagian untuk kami
Dua kasih sayangmu,
sebagian kejahatan lebih ringan daripada yang lain
Selain pengertian di atas, para mufassir juga menafsirkan
kata tersebut dengan makna lain, namun semuanya masih saling berdekatan.
Mujahid mengatakan maknanya adalah tha’attufan min
rabbihi‘alaihi (perlakuan lemah lembut dari Tuhannya).[11]Ibnu
Zaid berkata maknanya adalah mahabbah‘alaihi (rasa cinta terhadapnya). Atha’ bin Abi Rabah mengatakan maknanya adalah ta’zhiman min ladunna(kemuliaan
dari sisi kami).
2. Lafal افتح di dalam Surat Al-A’raf ayat 89
Sebagaimana pada ayat-ayat sebelumnya penulis cantumkan,
pada ayat ini para sahabat pun merasa kesulitan dalam memaknai suatu lafal yang
gharib.
Ibnu Abbas mengatakan, “Saya sendiri tidak mengerti apa
maksud dari firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَاافْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَابِالْحَقِّ
Sehingga saya mendengar
anak perempuan Dzul Yaqin berkata kepada suaminya:
تَعَالَىاُفَـاتِحْكَ
kemarilah, aku beri kamu keputusan, dan berkata seorang wanita badui:
بَيْنِى وَ بَيْنَـكَ الفَتَاحُ
telah ada keputusan
antara aku dan kamu.[12]
Jadi فتح dalam ayat tersebut bermakna memberikan keputusan,
Al-Maraghi menyebutkan bahwa pengertian seperti ini bersifat abstrak, hanya
bisa diketahui dengan jalan berpikir. Fataha dalam pengertian demikian
juga dapat ditemukan dalam percakapan orang arab serta syair-syair seperti:
وَفَتَحَ الحَاكِمُ بَيْنَهُـمْ وَمَا اَحْسَنَ
فَتَاحَتُهُ
“Hakim memutusi di
antara mereka dan sungguh baik sekali putusannya itu.”
اَلاَ ابَلِّغُ بَنِى وَهَبٍ رَسُولاً ͏
بِاَيِّ
عَنْ فَتَاحَتِهِمْ غَنِيٌّ ͏
“Ketahuilah,
telah aku kirim kepada Bani Wahab seorang duta untuk menyatakan, bahwa aku tak
perlu putusan mereka.”
Ke-gharib-an iftah dalam ayat ini terletak
pada jarangnya penggunaan makna yang dikandung. Kata iftah biasanya dipakai dalam arti kata
membuka atau menaklukkan. Menggunakan lafal ini dalam makna memutuskan (قضى) jarang
dipakai oleh orang Arab.
3. Lafal ابّا dalam Surat ‘Abasa ayat 31
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra. ditanyai
tentang makna kata ini, lalu beliau menjawab: “Langit mana tempat aku
berlindung, bumi mana tempat aku berpijak, kalau aku mengucapkan menyangkut
kitab Allah sesuatu yang tidak kuketahui.” Ucapan serupa dikemukakan oleh Umar
bin al-Khattab ketika beliau membaca ayat-ayat di atas. Beliau berkata: “Semua
ini telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu?” Lalu, beliau
mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata: “Inilah yang merupakan
pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, wahai putra Ibu Umar, jika tidak mengetahui
apakah abban itu.” Lalu beliau menghadap kepada siapa yang di
sekelilingnya seraya berkata, “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari
yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah,dan apa yang kamu tidak
ketahui, serahkanlah kepada Tuhan.”[13]
Bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar ra. dan sekian banyak
sahabat lain tidak mengetahuinya boleh jadi karena kata tersebut ada dalam
perbendaharaan bahasa Arab dan pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi
tidak populer lagi.[14]
Gharib-nya ayat ini terletak pada lafalnya yang jarang atau tidak pernah
didengar oleh orang-orang Arab, khususnya para sahabat yang mencoba memahami
makna ayat.
Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Umar ra.
di atas adalah shahih, bahwasanya Umar ra. ingin mengetahui makna abba,
baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir abba
adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat
sebelumnya (QS. 80 : 27-31). Berikut teks arab yang penulis temukan dari
penjelasan Ibnu Katsir:
فهو إسناد صحيح، وقد رواه غير واحد عن
أنس، به. وهذا محمول على أنه أراد أن يعرف شكله وجنسه وعينه، وإلا فهو وكل من قرأ
هذه الآية يعلم أنه من نبات الأرض، لقوله: (فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا *
وَعِنَبًا وَقَضْبًا * وَزَيْتُونًا وَنَخْلا * وَحَدَائِقَ غُلْبًا * وَفَاكِهَةً
وَأَبًّا )[15]
Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas berkata, “Adapun al-abb
adalah dedaunan yang dimakan oleh binatang ternak, bukan oleh manusia.” Di
riwayat lain disebutkan, “Yakni rerumputan untuk binatang ternak.”[16]
4. Lafal فاطر dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al-An’am ayat 14
Ibnu Abbas ra. berkata, ”Dahulu saya tidak mengerti
makna, faathiru al-samaawaati wa al-ardh, Hingga dua orang badui menemui
saya, dan keduanya berselisih perihal sebuah sumur. Salah seorang berkata
kepada temannya; Ana fathartuha, yakni,”Ana abtada’tuha hafraha (Aku
yang memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas ra. juga berkata faathiru
al-samaawaati wa al-ardhartinya badii’ual-samaawaati wa al-ardh (Pencipta
pertama langit dan bumi), atau dalam riwayat lain disebutkan khaliqu
al-samawati wa al-ardhi (Pencipta langit dan bumi dari suatu ketiaadaan).[17]
Di dalam tafsir Al-Maraghi lafal faathir berasal dari faathara
asy-syaian yakni “mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya”.[18]
Ke-gharib-an lafal ini terletak pada maknanya,
dalam pembicaraan sehari-harifathara diartikandengan makna
membelah,seperti pada ayat “idzaa al-samawaat infatharat”.Namun
pada ayat ini kata fathara mengandung arti menciptakan.
III.
KESIMPULAN
Gharibal-Quran ialah “lafal di dalam
Al-Quran yang dianggap asing atau sulit dipahami oleh bangsa Arab, khususnya
para sahabat yang kepada mereka diturunkan al-Quran.”Gharib terbagi
kepada dua, yaitu: Gharib lafal pada lafal dan maknanya dan Gharib lafal pada penempatan artinya di dalam kalimat. Makna 4 lafal yang dianggap gharib:
1. Lafal abba diartikan
dengan makna rerumputan bagi binatang ternak
2. Lafal fathir diartikan
dengan makna menciptakan
3. Lafal hananan diartikan
sebagai kasih sayang atau rahmat
4. Lafal iftah diartikan
sebagai memutuskan (qadha).
Ke-gharib-an lafal
dalam al-Quran bisa saja terjadi pada para sahabat ataupun pada orang Arab
lainnya, dikarenakan kosakata bahasa Arab itu sangat luas/banyak, sehingga
tidak semua orang mampu memahami semua kosakata tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’luf
Louis dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut: Maktabah
Syarqiyyah, 1986).
Baidan
Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
As-Suyuthi Jalaluddin , Al-Itqan fi Ulumil Quran. (Beirut:
Darul Kutub Ilmiyah, 1971).
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. 2009
Arwani M. Ulin Nuha, dkk, YANBU’A jilid 6 (Kudus: BUYA BAROKAH, 2010, cetakan ketiga).
al-Ashfahany
Ar-Raghib , al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut : Dar al-Ma’rifah,
t.t.).
[1] Louis Ma’luf dan Bernard
Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut: Maktabah Syarqiyyah, 1986), hal
547
[2] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005). 267.
[4] Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran Jilid I terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008),hal. 448
[7] Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon fi Ulumil
Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja’iz dengan
judul Samudra Ulumul Qur’an {Al-Itqan fi Ulumil Qur’an} (Surabaya: PT
Bina Ilmu Surabaya, 2006), h. 2
[9] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit
Ibnu Katsir, 2011). 620
[12] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi Juz 9 terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 1992), hal. 14
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jilid 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 87
[14] ibid
[16] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit
Ibnu Katsir, 2011), 473
[17] Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, (Jakarta: Penerbit Ibnu
Katsir, 2011), 456
[18] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi Juz 22 terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 1992). 177
Komentar
Posting Komentar